PEMBANGUNAN DAN PERTUMBUHAN WILAYAH
Teori
Pembangunan Wilayah
Ada
beberapa teori mengenai perkembangan wilayah yang sering digunakan sebagai
model. Teori tersebut pada umumnya berdasarkan tinjauan perkembangan ekonomi
beberapa negara. Untuk mengelompokkan teori-teori tersebut sangat sulit, karena
banyak faktor berpengaruh yang harus dipertimbangkan, seperti periode waktu
teori tersebut lahir, pijakan yang digunakan sebagai tolok ukur, dan ide yang
terkandung dalam teori tersebut. Pada prinsipnya ada tiga kelompok teori
pembangunan wilayah, yakni:
·
yang berasal dari mashab historis antara
lain teori Friedrich List, Karl Bucher, dan W.W. Rostow;
·
dari mashab analitis antara lain teori
Adam Smith, Harrod Domar, dan Solow Swan;
·
merupakan gabungan dari mashab historis
dengan mashab analitis, seperti teori Schumpeter dan lain-lain.
Beberapa
teori tersebut adalah: Control Theories, Teori Ketergantungan, Teori
Perkembangan Wilayah dari Rostow, dan Teori Tiga Gelombang dari Toffler.
a. Control
Theories
Control theories meliputi
dua teori, yaitu
1) Teori
Determinisme Lingkungan Alam (Physical Environment Determinism). Teori ini
berpandangan bahwa pengaruh lingkungan alam sangat kuat terhadap perkembangan
masyarakat suatu wilayah atau negara. Pengaruh ini dapat positif, bisa juga
negatif. Misalnya beberapa negara yang terletak di daerah tropis akan
menghadapi masalah-masalah seperti: adanya temperatur yang panas dalam
melemahkan energi dan aktivitas kerja masyrakat; banyaknya hujan mengakibatkan
terbentuknya rawa-rawa dan genangan air yang merupakan tempat yang ideal bagi
berbagai sumber penyakit, dan lain-lain.
2) Determinisme
Lingkungan Kebudayaan (Cultural Determinism) yang beranggapan bahwa perbedaan
suatu bangsa akan sangat berpengaruh terhadap tingkat kemajuan suatu wilayah.
Teori ini memandang bahwa segala sesuatu akan bisa dicapai dengan menggunakan
akal pikiran manusia, dan nilai keberhasilan pembangunan diukur dari segi
pencapaian materi yang dimilikinya.
b. Teori
Ketergantungan (Dependency Theory)
Dalam teori
ketergantungan sebenarnya ada beberapa aliran/mashab, yakni: aliran Marxis, Neo
Marxis, dan non Marxis. Namun pada prinsipnya teori ini beranggapan bahwa
keterbelakangan (under development) yang dialami negara-negara berkembang
bermula pada saat masyarakat negara tersebut: tergabung (incorporated) ke dalam
sistem ekonomi dunia kapitalis. Dengan demikian masyarakat negara berkembang
tersebut kehilangan otonominya dan menjadi negara "pinggiran" dari
daerah-daerah metropolitan yang kapitalis. Selanjutnya daerah-daerah pinggiran
ini dijadikan daerah-daerah jajahan dari negara-negara metropolitan. Mereka
hanya berfungsi sebagai produsen - produsen bahan mentah (raw materials), dan
konsumen barang-barang jadi yang dihasilkan oleh industri-industri di
negara-negara metropolitan tersebut. Dengan demikian timbullah struktur
ketergantungan yang merupakan penghambat yang hampir tidak dapat diatasi bagi
negara-negara berkembang. Dari uraian tersebut dapat dikatakan bahwa
berdasarkan teori ketergantungan tergabungnya secara paksa (forced
incorporated) negara - negara yang
sebagian besar pernah dijajah ke dalam sistem ekonomi kapitalisme dunia
merupakan penyebab dari keterbelakangan (under development) negara-negara
sedang berkembang dewasa ini. Tanpa adanya kolonialisme dan integrasi ke dalam
sistem ekonomi kapitalisme dunia, negara - negara berkembang saat ini pasti
sudah berhasil mencapai tingkat kesejahteraan yang memadai, dan bukannya tidak
mungkin untuk mengembangkan industri-industri manufaktur atau usaha lain atas kekuatan
sendiri. Salah satu kelemahan dari teori ini adalah bahwa satu-satunya penyebab
terjadinya keterbelakangan dan ketergantungan adalah karena kolonialisme dan
integrasi dari negara-negara berkembang ke dalam sistem ekonomi kapitalisme
dunia. Sama sekali mengabaikan faktor-faktor internal, seperti faktor sosial
budaya, dan pola perilaku masyarakat sebagai suatu faktor penyebab penting dari
keterbelakangan dan penghambat pembangunan di negara-negara berkembang.
c. Teori
Rostow W. W. Rostow
Mencetuskan teori
pertumbuhan ekonomi yang pada mulanya dikemukakan sebagai suatu artikel dalam
Economic Journal yang kemudian dibukukan dengan judul "The Stages of
Economic Growth" (1971). Diungkapkan bahwa setiap negara di dalam
perkembangannya akan melalui tahapan-tahapan yang sama, yakni melalui 5 (lima)
fase berturut-turut: masyarakat tradisional, prakondisi untuk lepas landas,
lepas landas, gerakan ke arah kedewasaan, dan masa konsumsi tinggi. Secara umum
analisis Rostow berpandangan bahwa pertumbuhan ekonomi terjadi sebagai akibat
munculnya perubahan yang fundamental yang terjadi dalam aktivitas ekonomi
maupun dalam kehidupan politik dan hubungan sosial dalam suatu masyarakat.
Dalam membedakan kelima fase pembangunan, Rostow mendasarkan kepada ciri-ciri
umum perubahan keadaan: ekonomi, politik, dan sosial yang berlaku. Pembangunan
ekonomi atau transformasi suatu masyarakat tradisional menjadi suatu masyarakat
modern merupakan suatu proses yang mempunyai dimensi banyak, tidak sekedar
ditandai dengan menurunnya peranan faktor pertanian dan meningkatnya peranan
faktor industri dan jasa. Secara garis besar kelima fase pembangunan ekonomi
Rostow adalah sebagai berikut:
- Masyarakat
Tradisional (The Traditional Community) Pada
fase ini fungsi produksi terbatas dimana cara produksi yang digunakan masih
relatif primitif dan cara hidup masyarakat masih dipengaruhi oleh nilai-nilai
yang kurang rasional dan bersifat turun temurun. Tingkat produksi masih sangat
terbatas, dan sebagian sumber-sumber daya masyarakat digunakan untuk kegiatan
dalam sektor pertanian. Di sektor
pertanian struktur sosialnya sangat bersifat hirarkhis.
- Prasyarat
untuk Lepas Landas (The Preconditions for Take Off) Pada
fase ini masyarakat sudah mulai mempersiapkan diri atau dipersiapkan dari luar,
untuk mencapai pertumbuhan yang mempunyai kekuatan untuk terus berkembang (self
sustained growth). Pada fase ini pula dan seterusnya pertumbuhan ekonomi akan
berlaku secara otomatis. Ada 2 corak menyertai tahap prasyarat lepas landas
ini. Pertama, adalah tahap prasyarat lepas landas yang dialami oleh
negara-negara Eropa, Asia, Timur Tengah, dan Afrika, dimana tahap ini dicapai
dengan perombakan masyarakat tradisional yang sudah lama ada. Corak yang kedua
adalah tahap prasyarat lepas landas yang dicapai oleh negara-negara "born
free" seperti: Amerika Serikat, Canada, Australia, dan New Zealand, di
negara - negara tersebut mengalami prasyarat lepas landas tanpa harus merombak
sistem masyarakat yang tradisional.
- Lepas
Landas (The Take Off) Pada
awal tahap ini terjadi perubahan yang drastis dalam masyarakat, seperti
revolusi politik, terciptanya kemajuan yang pesat dalam inovasi, atau
terbukanya pasar-pasar baru. Hambatan-hambatan yang berupa unsur-unsur
tradisional mulai menghilang, modernisasi dan pertumbuhan ekonomi merupakan
gejala umum dimana-mana. Tingkat pendapatan perkapita semakin besar sebagai
akibat adanya pertumbuhan pendapatan nasional yang melaju melebihi tingkat
pertumbuhan penduduk. Kalau pada fase pertama dan kedua biasanya berlangsung
lama, maka pada fase lepas landas ini berlangsung dalam waktu yang relatif
pendek, yaitu 40 s.d. 60 tahun (Wheeler, 1981:49).
- Gerakan
ke Arah Kedewasaan (The Drive to Maturity Pada
masa ini masyarakat sudah secara efektif menggunakan teknologi modern pada
sebagian besar faktor-faktor produksi dan kekayaan alamnya. Di samping itu
struktur dan keahlian tenaga kerja mengalami perubahan, dan peranan sektor
industri semakin penting, dilain pihak sektor pertanian mengalami penurunan.
Sejalan dengan semakin besarnya peranan sektor industri muncullah kritik-kritik
terhadap industrialisasi sebagai akibat dari ketidak puasan terhadap dampak
industrialisasi. Pada fase ini pula peningkatan keuntungan ekonomi semakin
melimpah ke dalam kesejahteraan sosial dan penanaman modal ke wilayah lain.
Demikian pula sifat kepemimpinan maupun kemahiran dan kepandaian para pekerja
menjadi semakin terspesialisasi secara lanjut.
- Masa
Konsumsi Tinggi (The Age Off Hight Mass Consumption) Pada
fase ini orientasi tidak lagi pada masalah produksi, akan tetapi lebih
difokuskan kepada masalah-masalah yang berkaitan dengan peningkatan kualitas
konsumsi dan kesejahteraan masyarakat. Adapun tujuan masyarakat pada fase ini
antara lain adalah: memperbesar pertumbuhan dan kekuasaan terhadap wilayah
lain: menciptakan welfare state, sehingga kemakmuran menjadi lebih merata, dan
berusaha mempertinggi konsumsi masyarakat di atas keperluan pokok (sandang, pangan,
perumahan) menjadi barang-barang berkualitas tinggi, tahan lama, dan
barang-barang mewah.
Berdasarkan
teori Rostow dapat dikatakan bahwa dewasa ini negara - negara berkembang
termasuk di antara fase pertama sampai fase ketiga, sedang negara-negara maju
termasuk dalam fase keempat dan kelima. Teori dari W.W. Rostow tersebut
mempunyai cukup banyak kelemahan antara lain: tidak ada perbedaan yang pasti
antara fase yang satu dengan yang lain (masih kabur); ciri-ciri dalam setiap
tahap kurang dapat diuji secara empiris; teori tersebut belum tentu dapat
menunjukkan tahap pembangunan di negara-negara berkembang, di samping itu perlu
diingat bahwa proses pembangunan tidak hanya bersifat self-sustained growth,
melainkan juga bersifat self limiting effect, dan laju pembangunan suatu
wilayah sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor yang menciptakan masing-masing
kekuatan.
d. Teori
Tiga Gelombang dari Toffler
Toffler dalam bukunya "The
Third Wave" (1980) mengklasifikasikan masyarakat suatu wilayah/negara
ke dalam tiga gelombang, yaitu: gelombang I, II, dan III.
·
Gelombang I (Peradaban Pertanian). Pada
masa ini ditandai dengan banyaknya masyarakat memakai baterei alamiah (living
battery). Keluarga mencakup keluarga besar (extended family), yang berarti
sanak saudara jauhpun dianggap anggota keluarga. Kaum petani bercocok tanam
sekedar untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Pasar bukan merupakan hal yang
penting, karena kelebihan hasil pertanian akan disimpan dalam
"lumbung" sebagai persediaan di musim paceklik. Tingkat ketergantungan antara wilayah yang
satu dengan wilayah lain sangat kecil (low interdependency), karena
biasanya suatu wilayah berproduksi untuk dikonsumsi sendiri, atau disebut "Pro-Sumen".
·
Gelombang II (Peradaban Industri) Dalam
masa ini masyarakat sudah mulai menggunakan energi dari minyak dan gas yang
tidak dapat diperbaharui. Keluarga hanya mencakup keluarga inti. Peranan pasar
sangat vital, karena itu produksi berproduksi dengan menggunakan mesin-mesin
raksasa yang memang dirancang untuk produksi masa. Pendidikan dan media massa
memegang peranan penting dan ada kecenderungan manusia mulai mendominasi alam,
pemborosan bahan baku, dan energi sangat menonjol demikian pula mobilitas
penduduk. Masyarakat pada masa ini sudah banyak berkomunikasi dengan
menggunakan media kertas dan jasa postel. Dalam rangka mendapatkan bahan baku
dan memasarkan hasil produksi, daerah "jajahan" direbut dan hal ini
diikuti dengan adanya pergerakan - pergerakan nasionalisme. Gelombang kedua ini
sering dikiaskan dengan "Big is Beautiful".
·
Gelombang III (Peradaban Informasi) Pada
masa ini masyarakat sudah banyak yang menggunakan energi yang dapat
diperbaharui (renewable). Dalam produksi masyarakat sudah mulai beralih
dari cara-cara berproduksi memakai tangan mesin (manufacture), ke suatu
proses produksi yang menggunakan proses biologi (biofacture).
Ketergantungan atau keterkaitan antara wilayah yang sangat menonjol dan
bersifat menyeluruh (hight interdependency). Adapun suatu gejala yang sangat
menonjol adalah terutama teknologi tinggi yang meliputi: teknologi penerbangan
dan angkasa luar; teknologi alternatif yang dapat diperbaharui, penerapan
bioteknologi dan yang mungkin paling mempengaruhi globalisasi, yakni teknologi
informasi.
Ada beberapa gejala gelombang I yang
muncul pada masa ini antara lain adalah timbulnya gejala global village dan
de-urbanisasi (karena bagusnya layanan telekomunikasi dan transportasi), dan
timbulnya gejala dimana konsumen ingin memproduksi barang- barangnya sendiri.
Berdasarkan uraian tersebut dapat dikatakan bahwa peradaban masyarakat di
negara-negara berkembang masih condong pada gelombang I dan II, sedangkan
peradaban bangsa-bangsa yang telah maju terutama berada dalam gelombang II dan
III. Dewasa ini Indonesia dengan pembangunan berencananya, berusaha untuk
"tinggal landas" memasuki peradaban gelombang II untuk menjadi negara
industri baru, mungkin seperti yang dicontohkan oleh negara-negara industri
baru (New Emerging Industrialized Countries), seperti Taiwan, Singapura, Korea
Selatan, dan China.
Teori
Interaksi Wilayah Perkembangan wilayah tidak berjalan serentak, ada yang
berkembang pesat namun ada pula yang berjalan lambat. Perkembangan wilayah ini
terkait dengan interaksi antar wilayah. Beberapa komponen yang mempengaruhi
interaksi wilayah antar alain adalah jumlah penduduk, jarak dan jumlah jaringan
jalan yang menghubungkan antar wilayah. Kekuatan interaksi wilayah dapat
dibandingkan dengan menggunakan teori grafik, model gravitasi dan teori titik
henti.
·
Teori Grafik Salah satu komponen penting
interaksi antar wilayah adalah infrastruktur berupa jaringan jalan. Makin
banyak jaringan jalan yang menghubungkan antar kota maka alternatif distribusi
penduduk, barang dan jasa makin lancar. Anda tentu sependapat bahwa antara satu
wilayah dan wilayah lain senantiasa dihubungkan oleh jalur-jalur transportasi
sehingga membentuk pola jaringan transportasi. Tingkat kompleksitas jaringan
yang menghubungkan berbagai wilayah merupakan salah satu indikasi kuatnya arus
interaksi. Sebagai contoh, dua wilayah yang dihubung kan dengan satu jalur jalan
tentunya memiliki kemungkinan hubungan penduduknya jauh lebih kecil
dibandingkan dengan dua wilayah yang memiliki jalur transportasi yang lebih
banyak. Untuk menganalisis potensi kekuatan interaksi antarwilayah ditinjau
dari struktur jaringan jalan sebagai prasarana transportasi,. Untuk menghitung
indeks konektivitas ini digunakan rumus sebagai berikut
Analisis indeks
konektivitas dapat dijadikan salah satu indikator dan pertimbangan untuk
menentukan lokasi usaha yang potensial menguntungkan karena memiliki nilai interaksi
yang tinggi. Indeks konektivitas yang tinggi dapat ditafsirkan wilayah tersebut
memiliki interaksi yang tinggi pula sehingga memperlancar arus pergerakan
manusia, barang, dan jasa yang pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan
masyarakat.
·
Teori Gravitasi
Teori Gravitasi kali
pertama diperkenalkan dalam disiplin ilmu Fisika oleh Sir Issac Newton (1687).
Inti dari teori ini adalah bahwa dua buah benda yang memiliki massa tertentu
akan memiliki gaya tarik menarik antara keduanya yang dikenal sebagai gaya
gravitasi. Kekuatan gaya tarik menarik ini akan berbanding lurus dengan hasil
kali kedua massa benda tersebut dan berbanding terbalik dengan kuadrat jarak
antara kedua benda tersebut. Secara matematis, model gravitasi Newton ini dapat
diformulasikan sebagai berikut.
Perbandingan potensi
interaksi antarwilayah dengan memanfaatkan formula yang dikemukakan Reilly ini
dapat diterapkan jika kondisi wilayah-wilayah yang dibandingkan memenuhi
persyaratan tertentu. Adapun persyaratan tersebut antara lain sebagai berikut.
1. Kondisi sosial-ekonomi, tingkat pendidikan, mata pencarian, mobilitas, dan
kondisi sosial-budaya penduduk setiap wilayah yang dibandingkan relatif
memiliki kesamaan. 2. Kondisi alam setiap wilayah relatif sama, terutama
berkaitan dengan kondisi topografinya. 3. Keadaan sarana dan prasarana
transportasi yang meng hubung kan wilayah[1]wilayah yang
dibandingkan relatif sama.
·
Teori Titik Henti (Breaking Point
Theory)
Teori Titik Henti merupakan
hasil modifikasi dari Model Gravitasi Reilly. Teori ini memberikan gambaran
tentang perkiraan posisi garis batas yang memisahkan wilayah-wilayah
perdagangan dari dua kota atau wilayah yang berbeda jumlah dan komposisi penduduknya.
Teori Titik Henti juga dapat digunakan dalam memperkirakan penempatan lokasi
industri atau pusat pelayanan masyarakat. Penempatan dilakukan di antara dua
wilayah yang berbeda jumlah penduduknya agar terjangkau oleh penduduk setiap
wilayah.
Menurut teori ini jarak
titik henti (titik pisah) dari lokasi pusat perdagangan (atau pelayanan sosial
lainnya) yang lebih kecil ukurannya adalah berbanding lurus dengan jarak antara
kedua pusat perdagangan. Namun, berbanding terbalik dengan satu ditambah akar kuadrat
jumlah penduduk dari kota atau wilayah yang penduduknya lebih besar dibagi
jumlah penduduk kota yang lebih sedikit penduduknya. Formulasi Teori Titik
Henti adalah sebagai berikut
Berkaitan dengan
perencanaan pembangunan wilayah, Model Gravitasi dan Teori Titik Henti dapat
dimanfaatkan sebagai salah satu pertimbangan faktor lokasi. Model Gravitasi dan
Teori Titik Hentidapat dimanfaatkan untuk merencanakan pusat-pusat pelayanan
masyarakat, seperti kantor Polisi, POM bensin, rumah sakit, sekolah
Pertumbuhan
Wilayah
Wilayah
dapat berkembang dengan pesat, baik dari segi ekonomi, politik, dan budaya
karena adanya pusat pertumbuhan. Pusat pertumbuhan merupakan suatu magnet
sebagai penarik dan juga sebagai pendorong perkembangan suatu wilayah. Pusat
pertumbuhan wilayah dapat terbentuk secara alami maupun secara terencana.
Wilayah selalu berkaitan dengan pengelolaan dan penataan ruang yang didalamnya
terdapat pertumbuhan pembangunan baik dibidang fisik, sosial, ekonomi, dan
budaya. Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya pusat pertumbuhan wilayah
antara lain sebgai berikut :
·
Faktor fisik Faktor fisik sangat
mempengaruhi perkembangan pusat pertumbuhan wilayah. Faktor fisik meliputi
topografi, iklim, keadaan tanah, keadaan air, dan sebagainya. Kondisi fisik
suatu wilayah yang memenuhi syarat-syarat tertentu untuk pengembangan wilayah
akan lebih cepat berkembang. Misalnya , topografi datar, ketersediaan air
mencukupi, kondisi tanah stabil, terhindar dari banjir, tanah longsor, genpa
dan sebagainya, maka wilayah tersebut akan lebih cepat berkembang.
·
Faktor pengambil kebijakan Tidak semua
wilayah dapat berkembang sesuai dengan yang diinginkan, meskipun dari beberapa
faktor yang sangat mendukung. Perencanaan pembangunan terhadap perkembangan
wilayah juga turut menentukan perkembangan suatu wilayah. Kebijakan-kebijakan
yang diambil haruslah menguntungkan bagi perkembangan wilayah seperti kebijakan
penggunaan lahan, rencana dalam ruang wilayah, pengendalian pemanfaatan lahan,
dan sebagainya.
·
Faktor ekonomi Setiap wilayah memiliki
kebutuhan dan potensi yang berbeda. Misalnya , suatu wilayah tidak mampu
menyediakan kebutuhan seperti bahan pangan. Sementara wilayah yang lain
memiliki potensi untuk penyediaan bahan pangan, begitu sebaliknya. Maka akan
terjadi hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi.
·
Faktor sosial Suatu wilayah dapat
dikatakan sebagai pusat pertumbuhan wilayah apabila wilayah tersebut kondisi
pendidikan, pendapatan, dan kesehatan masyarakatnya lebih terjamin bila
dibandingkan dengan wilayah yang lain. Kondisi pendidikan, pendapatan, dan
kesehatan dapat terbentuk secara alami yaitu masyarakat mulai sadar akan
kebutuhan tersebut dan secara terencana, yaitu terdapat perencanaan mengenai
pembangunan dan peningkatan pendidikan , pendapatan, dan kesehatan.
·
Faktor sarana pendukung Ketersediaan
sarana pendukung seperti jaringan, jenis transportasi, sarana ekonomi,
pendidikan, dan fasilitas lainnya berperan dalam pengembangan wilayah. Semakin
meningkatnya perkembangan wilayah menuntut adanya peningkatan sarana pendukung.
Dengan tersedianya sarana pendukung tersebut, dapat mendukung perekonomian
suatu wilayah. Sarana pendukung memberikan kemudahan dalam melakukan kegiatan
ekonomi, misalnya transportasi memudahkan dalam distribusi barang dan
memudahkan mobilitas penduduk.
Pasar
dan mal memberikan kemudahan dalam kegiatan jual beli, transaksi, memasarkan
hasil produksi, dan sebagainya. Wilayah-wilayah yang ada tidak tumbuh dalam
waktu yang bersamaan, jangka waktu yang berbeda, perkembangan yang berbeda, dan
tingkat keteraturan yang berbeda pula. Fungsi pusat pertumbuhan wilayah sebagai
berikut : a. Memudahkan dalam pengambilan kebijakan terhadap pembangunan
wilayah b. Memantau perkembangan wilayah c. Pemerataan pembangunan wilayah
Kondisi geografis Indonesia yang terdiri atas pulau-pulau besar dan kecil
menyebabkan pembangunan tidak hanya terpusat pada Pulau Jawa saja. Untuk
pemerataan pembangunan, dibentuklah perwilayah yang terdiri atas beberapa
provinsi.
Koridor
ekonomi di Indonesia dilakukan berdasarkan potensi dan keunggulan masing-masing
wilayah. Suatu pusat pertumbuhan akan memberikan pengaruh pada wilayah
sekitarnya. Pengaruh yang ditimbulkan dari pusat pertumbuhan yang berkembang di
suatu wilayah sebagai berikut.
1.
Pemusatan Sumber Daya Manusia Munculnya
pusat pertumbuhan di suatu wilayah akan menarik tenaga kerja yang banyak. Para
pekerja dari luar wilayah akan pindah dan menetap di wilayah pusat pertumbuhan
sehingga terjadi pemusatan penduduk atau sumber daya manusia. Arus migrasi
penduduk dari daerah pedesaan menuju pusat pertumbuhan atau kota di Indonesia
menunjukkan peningkatan seiring dengan perkembangan pusat pertumbuhan atau kota
itu.
2.
Perkembangan Ekonomi Pusat pertumbuhan
yang muncul di suatu wilayah akan meningkatkan kegiatan perekonomian di wilayah
itu. Kesempatan kerja yang banyak dari berbagai bidang dan arus barang
kebutuhan hidup berdampak pada perkembangan usaha-usaha ekonomi lain. Sebagai
contoh, pusat pertumbuhan yang berawal dari kegiatan penambangan batu bara
merangsang tumbuhnya kegiatan-kegiatan ekonomi lain, seperti warung makan,
pasar, penginapan, toko kelontong, usaha transportasi, dan tempat hiburan. Dari
usaha transportasi sendiri akan mendorong tumbuhnya penjualan alat-alat
transportasi dan perbengkelan.
Banyak penduduk pendatang
dan penduduk lokal membuka usaha atau melakukan kegiatan ekonomi di wilayah
pusat pertumbuhan untuk meningkatkan taraf hidupnya. Mereka bekerja sebagai
wiraswata, pedagang, karyawan, buruh, dan penjualan jasa. Kawasan industri,
perkebunan, pertambangan, kehutanan, dan pertanian merupakan wilayah yang dapat
dikembangkan menjadi pusat-pusat pertumbuhan. Kegiatan ekonomi yang berkembang
di wilayah pusat pertumbuhan akan meningkatkan kesejahteraan penduduk
3. Perubahan
Sosial Budaya Wilayah pusat pertumbuhan cenderung memiliki penduduk yang makin
padat. Kepadatan penduduk yang meningkat serta kemajuan komunikasi dan
transportasi akan berpengaruh pada kehidupan sosial budaya penduduknya.
Pengaruh pusat pertumbuhan yang semakin berkembang terhadap sosial budaya
antara lain sebagai berikut. - Penduduk termotivasi untuk memiliki keterampilan
dan pengetahuan guna mengatasi masalah akibat perubahan sosial budaya. Menyebabkan akulturasi dan asimilasi nilai
budaya akibat mobilitas penduduk, baik yang melalui migrasi maupun pertambahan
alami dari berbagai latar belakang budaya.