A. Kedatangan
Sekutu di Indonesia
Sekutu datang ke
Indonesia pada 29 September 1945 dianggap relatif terlambat, apabila dilihat
dari penyerahan Jepang, yaitu 14 Agustus 1945. Sekutu dalam hal ini Inggris
yang sudah membentuk satuan komando bernama SEAC mengirim pasukan mata- mata
untuk mengetahui kondisi di Indonesia sejak diserahkan oleh Jepang. Ternyata
Sekutu datang ke Indonesia diboncengi NICA (Nederlands Indies Civil
Administration),yaitu suatu pemerintahan sipil Belanda yang bertujuan untuk
kembali menguasai Indonesia. Inggris sebagai Sekutu yang ditugaskan ke
Indonesia, ternyata telah mengadakan perjanjian rahasia dengan Belanda, yang disebut
Civil Affair Aggreement pada 24 Agustus 1945. Isi perjanjian itu adalah Tentara
Pendudukan Inggris di Indonesia dan NICA di Indonesia akan memegang kekuasaan
atas nama Pemerintah Belanda, dalam melaksanakan tugas pemerintahan sipil akan
dilaksanakan oleh NICA dibawah tanggung jawab Komando Inggris, kekuasaan itu
kemudian akan dikembalikan kepada Pemerintah Belanda.
B. Perjuangan
Bersenjata Melawan Sekutu dan Belanda
1. Pertempuran
Surabaya
Kedatangan
tentara Inggris di Surabaya pada tanggal 25 Oktober 1945, dibawah pimpinan
Brigadir Jenderal Mallaby. Pada tanggal 27 Oktober 1945 tentara Inggris mulai
menduduki gedung pemerintahan, yang dipertahankan oleh rakyat dan pemuda
Indonesia sehingga terjadi pertempuran. Tanggal 29 Oktober 1945 atas permintaan
Letnan Jenderal Christison, Presiden Soekarno terbang ke Surabaya untuk
menghentikan pertempuran. Usaha Bung Karno berhasil dengan tercapainya gencatan
senjata. Pada tanggal 31 Oktober 1945 tersiarlah berita bahwa Brigadir Jendral
Mallaby hilang kemudian ternyata terbunuh. Karena tidak dapat menangkap pembunuhnya,
maka pada tanggal 9 November 1945 Mayor Jenderal Manserg dengan surat sebaran
menyampaikan ultimatum.
Sampai
tangal 10 November 1945, jam 06.00 pagi tidak ada seorang pun dari bangsa
Indonesia yang datang menyerahkan diri. Saat itu jugalah mengguntur dentuman meriam-meriam
Inggris yang dimuntahkan pelurunya di kota Surabaya. Rakyat dan pemuda Surabaya
masih juga mencoba mempertahankan kotanya, namun senjata ringan dan bambu
runcing tak berdaya menghadapi meriam-meriam berat dan tank-tank Inggris
sehingga terpaksa pasukan bersenjata Indonesia mengundurkan diri ke jurusan
Mojokerto.
2. Perang
Aceh
Pasukan-pasukan
Aceh dari Divisi Gajah I ditempatkan satu resimen di Medan Area (RIMA).
Batalyon I dan II menduduki Medan Tengah dan Selatan. Divisi Gajah II akan
menduduki Medan Barat, Panglima Divisi Gajah II Kolonel Simbolon. Divisi Gajah
I menduduki Kota Medan. Batalyon Meriam Kapten Nukum Sanami, berada di Medan
Timur, Batalyon NIP Xarim, Batalyon Bejo dan Batalyon Laskar Rakyat lainnya
membantu Divisi Gajah II. Pada hari H yang telah ditentukan Gajah I dan Gajah
II, tidak berhasil menduduki Kota Medan. Kompi
Gajah I berhasil masuk di jalan raya Medan-Belawan, Tandem Hilir. Namun
setelah dua hari mundur kembali, karena Jalan Medan Belawan dapat diduduki
Belanda kembali. Pada peperangan ke I, 21 April 1947, Belanda dapat menguasai
daerah Medan Area dan mundur dari Medan
Area. Yakin Belanda akan meneruskan serangannya menduduki Pangkalan Beran dan
daerah minyak, pasukan RI membumi- hanguskan Pangkalan Belanda.
Selanjutnya,
pasukan mundur ke Tanjung Pura, setelah tiga hari di Tanjung Pura terpaksa
pasukan RI meninggalkannya karena Belanda langsung merebut Tanjung Pura.
Pasukan RI bertahan di tepian Sungai Tanjung Pura, setelah tiga hari, bertahan
di tepi sungai, Belanda menguasai seluruh Sungai Tanjung Pura dan pasukan RI
mundur ke Gebang, Gebang perbatasan daerah Aceh Sumatera Timur. Pasukan baru
didatangkan dari daratan Aceh, satu resimen untuk bertahan di Gebang.
3. Perang
Ambarawa
Gerakan
maju Tentera Inggris ke Ambarawa dan Magelang pada tanggal 14 Disember 1945
akhirnya dapat dipukul mundur yang dalam peristiwa sejarah dikenal sebagai
Palagan Ambarawa. Pada akhir September 1946, tentera Belanda mengambil alih
posisi dan wilayah pendudukan dari tentara Sekutu (Inggris) sesudah
mendatangkan bala bantuan dari negeri Belanda yang dikenal dengan “Divisi 7
Desember”. Hingga bulan Oktober 1946, Belanda telah dapat menghimpun kekuatan
militernya sebanyak 3 divisi di Jawa dan 3 Brigade di Sumatera. Tentera Inggris
menyerahkan secara resmi tugas pendudukannya kepada Tentera Belanda pada
tanggal 30 November 1946. Dari segi perimbangan kekuatan militer pada masa itu,
pihak Belanda telah merasa cukup kuat untuk menegakkan kembali kekuasaan dan
kedaulatannya di Indonesia, dengan memaksakan keinginannya terhadap rakyat dan
pemerintah Republik Indonesia.
4. Pertempuran
Medan Area
Keangkuhan
dan provokasi Belanda semakin meningkat sejak pendaratan Sekutu. Di Medan titik
api pergolakan ada di Pension Wilhelmina di seberang Pasar Sentral Jalan Bali,
yang dijadikan asrama dan markas serdadu Ambon bekas KNIL yang dipimpin
Westerling. Pada Sabtu pagi, tanggal 13 Oktober 1945 serombongan orang sudah
berkumpul di luar markas tesbeut, karena tersiar berita bahwa seorang pengawal
dari Suku Ambon telah merenggut dan menginjak-injak bendera merah putih yang
dipakai seorang anak Indonesia. Terjadilah perang, beberapa orang luka- luka.
Di tengah baku hantam itu, dua orang Belanda yang berada di atas kendaraan
melepasakan tembakan-tembakan ke arah rombongan masyarakat, satu orang tewas.
Pasukan Jepang bersama dengan barisan bekas militer BPI pimpinan Ahmad Tahir
yang akan beralih menjadi TKR datang untuk meredakan pertempuran. Akhirnya
pihak Sekutu berjanji untuk memindahkan orang Ambon dari Pension Wilhelmina.
Sementara itu, serdadu Jepang mengambil senjata-senjata dari gedung itu dan
menempatkan pengawalnya di pintu pagar. Masyarakat Medan membubarkan diri pukul
13.30 dengan meninggalkan dua orang Indonesia dan seorang wanita Ambon yang
meninggal dunia.
5. Perang
Bandung Lautan Api
Pasukan
Sekutu Inggris memasuki kota Bandung sejak pertengahan Oktober 1945. Menjelang
November 1945, pasukan NICA melakukan aksi teror Bandung. Meskipun pihak
Indonesia telah mengosongkan Bandung utara, tapi sekutu menuntut pengosongan
sejauh 11 km. Hal itu menyebabkan rakyat bandung marah. Mereka kemudian
melakukan aksi pertempuran dengan membumi hanguskan segenap penjuru Bandung
selatan. Bandung terbakar hebat dari atas batas timur Cicadas sampai batas
barat Andir. Satu juta jiwa penduduknya mengungsi ke luar kota pada tanggal 23
dan 24 Maret 1946 meninggalkan Bandung yang telah menjadi lautan api.
6. Perlawanan
Rakyat di Wilayah Kekuasaan Belanda
Peringatan
hari proklamasi di daerah-daerah juga tidak dilewatkan oleh masyarakat. Di
Bogor rakyat merayakan sesuai dengan suasana dan keadaan. Sang Merah Putih
tetap dipasang, tetapi di dinding-dinding rumah saja. Rakyat yang mempunyai
gambar Presiden Sukarno, pada hari bersejarah itu menggantungkannya pula.
Rakyat Bogor mengadakan selamatan dengan membaca sholawat 1000 kali dan doa
selamat, kemudian dhidangkan kue-kue dan bubur merah putih. Rakyat berziarah
juga ke makam-makam pahlawan, namun kunjungan ke Kebun Kembang tidak dapat
dilaksanakan, karena penjagaan yang ketat dari pihak Belanda. Di Bandung,
panitia 17 Agustus yang dipimpin oleh R.P.S Gondokusumo telah diijinkan oleh
Recomba untuk merayakan Hari Proklamasi secara tertutup dalam pertemuan yang
dihadiri tidak lebih dari 50 orang.
7. Agresi
Militer Belanda I
Latar
belakangnya adalah adanya
penolakan pihak Republik Indonesia
terhadap tuntutan Belanda yang berisi tentang keharusan RI untuk
mengirim beras dan penyelenggaraan
gendarmie (keamanan dan ketertiban bersama). Serangan ini dilakukan pada
tanggal 21 Juli 1947 dengan sasaran kota besar di Jawa, daerah perkebunan dan
pertambangan. Tujuan Belanda melakukan serangan atas RI ialah penghancuran RI.
Untuk melakukan itu Belanda tidak dapat melakukan sekaligus, oleh karena itu
pada fase pertama Belanda harus mencapai sasaran.
Tanggal
30 Juli 1947 pemerintah India dan Australia mengajukan permintaan resmi agar
masalah Indonesia segera dimasukkan dalam daftar agenda Dewan Keamanan
PBB. itu diterima dan dimasukkan sebagai
agenda dalam pembicaraan sidang Dewan Keamanan PBB. India membela RI karena
solidaritas Asia terutama sesudah konferensi internasional di New Delhi pada
Maret 1947 di mana Indonesia ikutserta.
Lagipula hubungan RI-India
baik sekali karena politik beras
Syahrir (antara 1946-1947), yaitu Indonesia membantu India yang sedang
dilanda kelaparan dengan mengirim beras sebanyak 700.000 ton.
Dalam
laporanya kepada Dewan Keamanan PBB, Komisi Konsuler menyatakan bahwa 30 Juli
1947-4 Agustus 1947 pasukan Belanda masih melakukan gerakan militer. Setelah
beberapa minggu tidak ada keputusan, akhirnya pada 25 Agustus 1947 usul AS
diterima sebagai keputusan DK PBB. Usul AS adalah pembentukan Committee of
Good Officer (Komisi Jasa- Jasa Baik) untuk membantu kedua belah pihak
menyelesaikan pertikaian. Atas dasar putusan DK PBB tersebut, pada 18 September
1947 Belanda memilih Belgia, RI memilih Australia, dan kedua negara memilih
negara ketiga yaitu AS. Komisi jasa- jasa baik, selanjutnya disebut KTN (Komisi
Tiga Negara), yang beranggotakan Dr. Frank
Graham (AS), Paul Van
Zeelan (Belgia), dan Richard
Kirby (Australia).
Sebelum
KTN terbentuk dan belum datang ke Indonesia, Belanda terus melakukan
langkah-langkah yang merugikan RI. KTN mampu memaksa Belanda untuk mengadakan
perundingan dengan Indonesia, yaitu Perundingan Linggarjati.
8. Agresi
Militer II.
Pada
tanggal 19 Desember 1948, Belanda melancarkan serangan keduanya terhadap
Indonesia. Latar belakangnya adalah adanya pengingkaran Belanda atas hasil
perjanjian Renville di mana Belanda tidak mau lagi terikat dengan perjanjian Renville.
Serangan diawali penerjunan pasukan payung di pangkalan udara Maguwo dan
menduduki ibu kota Yogyakarta. Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad
Hatta memutuskan tetap tinggal di Ibukota. Namun Sukarno Hatta beserta sejumlah
menteri dan S. Suryadarma ditawan Belanda.
Sebelum
pihak Belanda sampai di Istana, Soekarno telah mengirim radiogram yang berisi
perintah kepada Mr. Syafrudin Prawiranegara yang sedang berkunjung ke Sumatra
untuk membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Dalam satu
bulan, pasukan TNI telah berhasil melakukan konsolidasi dan melakukan
pukulan-pukulan secara teratur kepada musuh. Serangan umum yang dilaksanakan
terhadap kota-kota yang diduduki Belanda mulai dilaksanakan oleh pasukan TNI
dan yang dikenal sebagai Serangan Umum 1 Maret 1949 terhadap kota Yogyakarta
dipimpin oleh Letkol Suharto. Dalam masa perjuangan itu para pelajar membentuk
tentara-tentara pelajar. Para pelajar di Jawa Timur membentuk Tentara Pelajar
Republik Indonesia (TPRI) dan Tentara Genie Pelajar (TGP) yang terdiri dari
pelajar sekolah teknik.
Langkah
Politik/Diplomasi. Pada pukul 23.30 tanggal 18 Desember 1948, Cochran mendapat
surat dari delegasi Belanda di Jakarta untuk disampaikan kepada KTN di
Yogyakarta. Isi surat tersebut adalah Belanda tidak terikat lagi dengan isi
perjanjian Reville. Dengan alasan bahwa PM Hatta menolak intervensi Belanda di
wilayah RI dan menganggap penolakan tersebut dari Indonesia melanggar
ketentuan, dan Belanda mantap untuk menyerang Yogyakarta secara mendadak.
Mendengar berita penyerbuan tentara Belanda secara mendadak, Kabinet RI pun
bersidang. Sampai tahun 1949, Belanda sudah memasukkan 145.000 pasukan ke
Indonesia, namun hanya berhasil menguasai kota-kota dan jalan raya, sedangkan
pemerintahan RI tetap berjalan wajar di desa-desa. TNI secara gerilya tetap
melawan Belanda. Rakyat dan pemerinhan sipil melakukan politik non cooperasi
dan ikut bergerilya pula.
Langkah
Militer/Konfrontasi. Sebelum Belanda melancarkan serangan terhadap Kota
Yogyakarta 19 Desember 1948, Panglima Besar Jenderal Sudirman pada 9 November
1948 telah mengeluarkan perintah perubahan siasat pertahanan, yang terkenal
dengan Perintah Siasat Nomor 1. Dalam perintah sisaat tersebut intinya
merupakan penjabaran dari Pertahanan Rakyat Semesta. Wehrkreise istilah bahasa
Jerman yang berarti lingkaran pertahanan. Sistem wehrkreise artinya pertahanan
dalam lingkaran-lingkaran pertahanan yang dapat berdiri sendiri, namun dapat
juga saling membantu dan mendukung dengan lingkaran pertahanan yang lain.
Prajurit yang sudah mundur dari garis pertahanan pertama dapat menggabungkan
diri dengan daerah pertahanan berikutnya. Dengan demikian, maka gerak musuh
dapat dihambat. Reaksi Dunia Terhadap
Agresi Militer Belanda II Negara Asia
dan Afrika.
Tanggal
20-23 Januari 1949, atas prakarsa Perdana Menteri India dan Birma,
diselenggarakan Konferensi Asia untuk membahas masalah Indonesia. Konferensi
Asia mengeluarkan tiga resolusi untuk
penyelesaian konflik antara Indonesia dan Belanda, yang isinya antara
lain berupa kecaman keras terhadap agresi militer Belanda di Indonesia. Di
antara resolusi-resolusi yang diterima oleh konferensi, sebuah berisi
rekomendasi kepada Dewan Keamanan. Teks resolusi ini telah dikawatkan kepada
Dewan Keamanan. Teks resolusi ini disusun dengan mengakui sepenuhnya wewenang
Dewan Kemanan, terutama dalam hasrat hendak membantu memecahkan masalah
Indonesia.
Perubahan
Sikap Amerika Serikat. Amerika Serikat
sejak Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya selalu mendukung Belanda. Amerika
Serikat selalu mendukung Belanda untuk
menduduki kembali Indonesia. Ada sejumlah alasan bagi Amerika Serikat untuk
menempatkan pada posisi demikian. Pertama, ketakutan akan komunisme. Kedua,
pentingnya Indonesia bagi kepentingan ekonomi Belanda. Indonesia yang kaya
dengan berbagai sumber daya alam seperti minyak, emas, karet, bauxite, kopra
dan lain-lain telah menjadi sumber utama ekonomi Belanda selama masa
penjajahan. Ketiga, kepentingan ekonomi Amerika.
Dewan
Keamanan PBB segera bersidang pada tanggal 24 Januari 1949 sebagai reaksi terhadap Agresi Militer Belanda II sekaligus tanggapan terhadap desakan negara-negara Asia dan
Afrika dalam pertemuan di New Delhi (India). Pada tanggal 28 Januari 1949 Dewan Keamanan PBB mengeluarkan
beberapa resolusi. Palang Merah
Internasional (PMI). Permasalahan antara
Indonesia dengan Belanda tidak hanya menarik perhatian dan peran serta dari
Negara-Negara dari berbagai belahan dunia, tetapi juga turut menarik perhatian
dan peran serta dari berbagai organisasi Internasional yang ada. Salah satu
Organisasi Internasional yang tercatat pernah terlibat dalam urusan
penyelesaian sengketa antara Indonesia dengan Belanda ialah Organisasi Palang
Merah Internasional. Salah satu upaya yang cukup mendapat perhatian karena
berakhir dengan sangat tragis adalah upaya mengirimkan bantuan melalui jalur
udara dengan menggunakan pesawat ringan bertanda Palang Merah Internasional
yang berakhir dengan kegagalan karena pesawat tersebut ditembak jatuh oleh
pesawat tempur Belanda saat akan mendarat di lapangan udara Magoewo di
Yogyakarta.
C. Perjuangan
Diplomasi
Upaya bangsa Indonesia
untuk mempertahankan kemerdekaan tidak hanya sebatas perjuangan angkat senjata
saja. Lebih dari itu lewat tokoh-tokoh terpelajar dan negosiator-negosiator
ulung yang dimiliki bangsa Indonesia bisa dibilang sukses besar mengantarkan
bangsa Indonesia terbebas dari upaya penjajahan kembali yang dilakukan Belanda.
Bagaimana kiprah para tokoh-tokoh negosiator ulung kita dalam mempertahankan
kemerdekaan Indonesia. Berikut
perjuangan diplomasi :
1. Perjanjian
Linggar Jati
Untuk
menyelesaikan pertikaian Indonesia-Belanda maka pada 10 November 1946 diadakan
perundingan di Linggar Jati. Pihak Indonesia dipimpin oleh dr. Sudarsono,
Jenderal Sudirman, dan Jenderal Oerip Soemohardjo. Inggris mengirim Lord
Killearn sebagai penengah setelah komisi gencatan senjata terbentuk. Pihak
Belanda diwakili oleh Prof. S. Schermerhorn dan Dr. Hj. Van Mook. Isi
persetujuan Linggar Jati. Setelah naskah perjanjian ditandatangani, muncul pro
dan kontra dimasyarakat mengenai hasil perundingan tersebut. Tanggal 25 Maret
1947 pihak Indonesia menyetujui perjanjian Linggar Jati. Hasil perundingan
tersebut menghasilkan 17 pasal yang antara lain berisi:
·
Belanda mengakui secara
de facto wilayah Republik Indonesia, yaitu Jawa, Sumatera dan Madura
·
Belanda harus meninggalkan
wilayah RI paling lambat tanggal 1 Januari 1949.
·
Pihak Belanda dan
Indonesia Sepakat membentuk negara RIS.
·
Dalam bentuk RIS
Indonesia harus tergabung dalam persemakmuran Indonesia-Belanda dengan Belanda
sebagai kepala Uni Indonesia-Belanda
2. Perundingan
Renville
Berdasarkan
Keputusan Kerajaan Belanda No. 51 tanggal 15 Desember 1947, wakil- wakil
pemerintah Belanda yang hadir dalam
perundingan Renville dengan penuh kehati-hatian menghindari kata “delegasi”.
Ini untuk menjelaskan bahwa persoalan Indonesia adalah masalah dalam negeri.
Oleh karena itu, Keputusan Kerajaan Belanda menyebut “penunjukkan suatu komisi
untuk melakukan pembicaraan-pembicaraan sesuai Resolusi DK PBB tanggal 25
Agustus 1947. Hasil dari perundingan
Renville adalah :
·
Belanda hanya mengakui
Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Sumatra sebagai bagian wilayah Republik Indonesia
·
Disetujuinya sebuah garis
demarkasi yang memisahkan wilayah Indonesia dan daerah pendudukan Belanda
·
TNI harus ditarik mundur
dari daerah-daerah kantongnya di wilayah pendudukan di Jawa Barat dan Jawa
Timur
3. Perjanjian
Roem Royen
Pada
bulan pertama tahun 1949 karena didesak oleh Dewan Keamanan PBB, Belanda
mengadakan pendekatan-pendekatan politis dengan Indonesia. Perdana Menteri
Belanda Dr. Willem Drees mengundang Prof. Dr. Supomo untuk berunding. Undangan
itu diterima dan merupakan pertemuan pertama antara pihak Indonesia dengan
pihak Belanda sejak tanggal 19 Desember 1948. Pertemuan antara Perdana Menteri
Dr. Willem Drees dengan Prof. Dr. Supomo tidak diumumkan kepada masyarakat
sehingga bersifat informal. Pertemuan lainnya yang bersifat informal adalah
antara utusan BFO yaitu Mr. Djumhana dan Dr. Ateng dengan Presiden Sukarno dan
Wakil Presiden Mohammad Hatta pada tanggal 21 Januari 1949.
Hasil
pembicaraan secara mendetil dari pertemuan-pertemuan itu tidak pernah diumumkan
secara resmi, kecuali diberitakan oleh harian Merdeka pada 19 Januari 1949 dan
24 Januari 1949. Namun demikian dari pertemuan informal tersebut dicapai
kesepakatan antara RI dengan BFO yang disampaikan oleh Mr. Moh. Roem bahwa RI
bersedia berunding dengan BFO di bawah pengawasan Komisi PBB dalam suatu
perundingan formal. Pada tanggal 13
Februari 1949 Wakil Presiden Mohammad Hatta secara resmi menyatakan pendapatnya
bahwa perundingan dapat saja dilakukan dengan syarat dikembalikannya pemerintah
RI ke Yogyakarta dan pengunduran pasukan Belanda dari wilayah RI sesuai dengan
resolusi Dewan Keamanan PBB tanggal 24 Januari 1949. Pendirian Wakil Presiden
Mohammad Hatta kemudian disetujui dan didukung oleh delegasi BFO. Berdasarkan
kenyataan dan penjajagan politis yang dilakukan oleh Belanda terhadap para pemimpin
Indonesia diperoleh kesimpulan bahwa pada
umumnya bersedia berunding. Oleh karena itu, Belanda pada tanggal 26
Pebruari 1949 mengumumkan akan mengadakan Konferensi Meja Bundar pada tanggal
12 Maret 1949. KMB akan diadakan dengan diikuti oleh Belanda, Indonesia dan
negara-negara bentukan Belanda guna membicarakan masalah Indonesia seperti
syarat-syarat penyerahan kedaulatan dan
pembentukan Uni Indonesia Belanda. Pemerintah Belanda mengutus Dr. Koets
sebagai Wakil Tinggi Mahkota Belanda pada tanggal 28 Pebruari 1949 untuk
menemui Ir. Sukarno beserta beberapa pemimpin RI yang masih ditawan di Pulau
Bangka untuk menyampaikan rencana KMB. Pada tanggal 3 Maret 1949 Presiden
Sukarno mengadakan pembicaraan dengan penghubung BFO tentang perlunya
pengembalian kedudukan pemerintah RI sebagai syarat diadakannya perundinagn
sesuai dengan resolusi Dewan Keamanan PBB. Pada tanggal 4 Maret 1949 Presiden
Sukarno membalas undangan Wakil Tinggi Mahkota Belanda. Undangan menghadiri KMB
yang dimaksud oleh Dr. Koets tentu saja bukan undangan pribadi kepada Ir.
Sukarno, melainkan undangan untuk pemerintah Indonesia. Oleh karena itu
Presiden Sukarno menyampaikan bahwa RI tidak mungkin berunding tanpa
pengembalian pemerintahan ke Yogyakarta. Dengan demikian maka sebelum perundingan
dimulai, secara tidak langsung Belanda harus sudah mengakui bahwa RI masih
tegak berdiri. Sementara itu pihak BFO juga mengeluarkan surat pernyataan yang
berisi pemberitahuan bahwa BFO tetap dalam pendirian semula. Komisi PBB untuk
Indonesia pada tanggal 23 Maret 1949 memberitahukan kepada Belanda bahwa Komisi
PBB telah bekerja sesuai dengan resolusi Dewan Keamnaan PBB tanggal 28 Januari 1949 dan tidak merugikan tuntutan kedua belah pihak
Perundingan dimulai pada 14 April 1949 yang dilakukan oleh
Mr. Moh. Roem (Indonesia) dengan Dr. Van Roijen (Belanda) dengan mediator Merle
Cochran (anggota UNCI dari AS). Perundingan
ini dilakukan di Hotel Des Indes (Hotel
Duta Merlin Jakarta, sekarang). Perundingan
berlarut-larut dan sempat terhenti
sampai 1 Mei 1949 karena terjadinya perbedaan pendapat yang tajam.
Pemerintah Belanda menghendaki agar RI menghentikan gerakan gerilya oleh
pejuangnya, bersedia menghadiri KMB dan bersedia bekerjasama menciptakan
keamanan dan ketertiban, barulah pemerintahan dan pemimpin RI yang ditahan
Belanda dibebaskan. Karena perundinagn berjalan sangat lamban, bahkan hampir
mengalami jalan buntu, pada tanggal 24
April 1949 Drs. Mohammad Hatta datang ke Jakarta. Pihak RI menempuh cara
lain yakni mengadakan
perundingan informal dan
langsung dengan pihak Belanda disaksikan Merle Cochran. Pada tanggal 25
April 1949 diadakan pertemuan informal pertama antara Drs. Moh. Hatta dengan
ketua delegasi Belanda Dr. Van Royen.
Hasil
pertemuan ini tidak diumumkan, namun Wakil Presiden Moh. Hatta menyatakan bahwa
pertemuan informal itu untuk membantu memberikan penjelasan kepada delegasi
Belanda. Anggota UNCI dari AS Merle Cohran mendesak Indonesia agar dapat
menerima usulan Belanda dengan kompensasi bantuan ekonomi setelah pengakuan
kedaulatan, tetapi sebaliknya mengancam untuk tidak memberi bantuan apapun
kepada Indonesia apabila pihak RI tidak bisa melanjutkan perundingan.
Selanjutnya masing- masing pihak mengeluarkan pernyataan. Persetujuan ini
sebenarnya hanya berupa pernyataan dari kedua belah pihak yang masing-masing
menyetujui pernyataan pihak lainnya. Isi pernyataan ini ditanda tangani pada 7
Mei 1949 oleh ketua perwakilan kedua negara yaitu Mr. Moh. Roem dan Dr. Van
Roiyen, oleh karena itu terkenal dengan sebutan Roem Royen Statemens.
Presiden
Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta akan berusaha mendesak supaya politik
demikian diterima oleh pemerintah Republik Indonesia selekas-lekasnya setelah
dipulihkan di Yogyakarta. Bunyi statement Roem-Royen:
·
Sesuai dengan resolusi DK
PBB, Indonesia menyatakan kesanggupannya untuk menghentikan perang
gerilya.
·
bekerjasama mengembalikan
dan menjaga keamanan dan ketertiban.
·
Turut serta dalam
Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag dengan maksud untuk mempercepat
penyerahan kedaulatan yang sungguh-sungguh dengan tidak bersyarat.
·
Statement Delegasi
Belanda (Diucapkan oleh Dr. Van Royen)
Delegasi Belanda diberi kuasa menyatakan bahwa, berhubungan dengan
kesanggupan yang baru saja diucapkan oleh Mr. Roem, ia menyetujui kembalinya
Pemerintah Republik Indonesia di Yogyakarta.
Sebagai
tindak lanjut dari persetujuan Roem- Royen, pada tanggal 22 Juni 1949 diadakan
perundingan formal antara RI, BFO dan Belanda di bawah pengawasan komisi PBB,
dipimpin oleh Critchley (Australia). Hasil perundingan itu adalah: 1.
Pengembalian pemerintahan RI ke Yogyakarta dilaksanakan pada tanggal 24 Juni
1949. Karesidenan Yogyakarta dikosongkan oleh tentara Belanda pada tanggal 1
Juli 1949 dan pemerintah RI kembali ke Yogyakarta setelah TNI menguasai keadaan
sepenuhnya daerah itu. 2. Mengenai
penghentian permusuhan akan dibahas setelah kembalinya pemerintah RI ke
Yogyakarta. 3. Konferensi Meja Bundar diusulkan akan diadakan di Den Haag.
4. Konferensi
Inter Indonesia
Hubungan
antara pemimpin-pemimpin BFO dan Republik Indonesia, pertama kali dijalin pada
1949 ditempat pengasingan di Bangka.waktu itu, pembentukan negara federal
Indonesia Serikat masih kabur kerena syarat mutlak pembebasan para pemimpin
Republik Indonesia belum dilaksankan. Pemimpin-pemimpin BFO masih ragu-ragu
terhadap kekuatan perlawanan gerilyawan terhadap tentara Belanda yang
dianggapnya akan mengalami kegagalan. Untuk menyelamatkan kedudukan sebagai
pemimpin di negaranya masing-masing pemimpin-pemimpin BFO mengadakan siasat
yang dapat memberi jaminan negara-negara BFO yang akan menjadi negara bagian
dalam Negara Indonesia Serikat. Mereka yakin bahwa perundingan Konferensi Meja
Bundar akan menghasilkan pembentukan Negara Indonesia Serikat yang berdaulat
penuh atas pertimbangan faktor-faktor. Untuk menyamakan persepsi dan pemahaman
serta menyatukan langkah menghadapi Belanda dalam KMB, negara-negara bagian dan
RI mengadakan konferensi bersama. Konferensi ini diadakan di Yogyakarta pada
tanggal 19-22 Juli 1949 dan dilanjutkan di Jakarta pada 30 Juli-2 Agustus 1949.
Pemilihan
kedua kota ini atas pertimbangan bahwa Yogyakarta merupakan wilayah negara RI
sedangkan Jakarta termasuk daerah negara bagian. Dengan demikian tercipta sikap
saling menghargai dan sejajar. Delegasi BFO untuk menghadiri Konferensi Antar
Indonesia tahap pertama yang diselenggarkana di istana negara Yogyakarta,
dipimpin oleh Sultan Hamid Algdrie dari Pontianak. Kedatangan mereka disambut
sangat gembira oleh masyarakat Yogyakarta sehingga timbul kesan bahwa
kecurigaan sudah musnah sama sekali. Konferensi tahap pertama membahas
ketatanegraan Indonesia bertalian dengan maksud mendirikan Negara Indonesia
Serikat. Keputusan Konferensi Inter Indonesia adalah : a. Agustus ditetapkan
sebagai Hari Nasional Negara RIS b. Bendera Merah Putih sebagai bendera RIS c.
Lagu kebangsaan RIS adalah Indonesia Raya d. Bahasa Nasional RIS yaitu Bahasa
Indonesia
5. Konferensi
Meja Bundar (KMB)
Pengakuan
Kedaulatan Pimpinan TNI Kembali ke Kota
Yogyakarta. Masuknya TNI dan para
pemimpin yang kembali dari pengasingan ke Yogyakarta diperingati sebagai Hari
Yogya Kembali, yang akhirnya juga diabadikan dengan Monumen Yogya Kembali. Itu
berarti Monumen Yogya Kembali bukan hanya untuk mengabadikan kembalinya TNI ke
Yogyakarta, tetapi juga kembalinya pemimpin bangsa. Dari fakta sejarah justru
nampak bahwa pembangunan monumen ini tidak langsung berkaitan dengan perisrtiwa
Seranfgan Umum 1 Maret 1949 yang dipimpin oleh Letkol Suharto. Selama ini kita
sealu berpendapat bahwa pembangunan Monuen Yogya Kembali untuk memperingati
Serangan Fajar yang berhasil merebut Kota Yogyakarta selama 6 jam.
Detik-Detik
Menjelang dan Pelaksanaan Konferensi Meja Bundar Tindak lanjut mempersiapkan penyelenggaraan
konferensi meja bundar (KMB) di den haag, negeri Belanda, perdana menteri NIT,
ide Anak Agung Gde Agung, yang merangkap sebagai wakil ketua pertemuan
musyawarah federal (PMF, yang lebih dikenal BFO) menyarankan agar sebelum
diselenggarakan KMB, terlebih dahulu diadakan suatu konferensi antara BFO dan
RI. Maksudnya ialah, untuk membentuk suatu rekonsiliasi antara
pemimpin-pemimpin RI dan wakil-wakil negara bagian dan daerah-daerah di luar
wilayah kekuasaaan RI, karena adanya perselisihan paham dan jurang pemisah
antara mereka akibat politik memecah belah pemerintah Belanda. Selain itu, agar
tercapai kerjasama dan kekompakan menghadapi Belanda selama pembicaraan pada
sidang KMB. Dari tanggal 23 Agustus sampai tanggal 2 November 1949, konferensi
Meja Bundar diselenggarakan di Den Haag. Hatta mendominasi pihak Indonesia
selama berlangsungnya perundingan-perundingan dan semua peserta mengaguminya.
Suatu uni yang longgar antara negeri Belanda dan RIS disepakati dengan Ratu
Belanda sebagai pimpinan simbolis. Soekarno akan menjadi presiden RIS dan Hatta
sebagai perdana menteri (1949-1950) merangkap wakil presiden.
Pada
tanggal 27 Desember 1949, negeri Belanda secara resmi menyerahkan kedaulatan
atas Indonesia, tidak termasuk Papua, kepada RIS, sebuah Negara federal yang
hanya bertahan secara utuh selama beberapa minggu saja. Pada tanggal 31 Oktober
1949 delegasi RI dan BFO menerima usul yang bersifat kompromi dari UNCI tentang
status Irian Barat. Semula soal ini sangat pelik dan hampir buntu
dari penyelesaian, akhirnya
bersedia menerima usulan UNCI walaupun lebih merugikan Indonesia.
Usulan UNCI adalah masalah Irian Barat (Niew Guineo) akan diselesaikan setahun
setelah tanggal penyerahan kedaulatan antara RIS
Pengesahan
Hasil KMB Berdasarkan hasil KMB
maka daerah-daerah bekas jajahan Hindia
Belanda yang sejak 17 Agustus 1945 diproklamasikan sebagai Republik
Indonesia dengan bentuk kesatuan, sejak
17 Desember 1949 berubah menjadi negara federal dengan nama Republik Indonesia
Serikat. Sementara itu, RI hanya
merupakan negara bagian dari RIS dengan wilayah Yogyakarta. Republik Indonesia
Serikat adalah sebuah Negara federal tergabung di dalamnya 15 negara bagian
yang telah didirikan Belanda selama 3 tahun sebelumnya di wilayah yang
didudukinya, sebagai taktik devide et impera untuk melawan Republik Indonesia.
Dengan dibentuknya RIS, disahkanlah Konstitusi RIS 1949 di Gedung Proklamasi,
Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta pada 14 Desember 1949.
Selanjutnya
pada 16 Desember 1949 di Yogyakarta dilakukan pemilihan Presiden RIS. Terpilihlah Presiden
Sukarno yang dilantik
pada 18 Desember 1949, dan Bung
Hatta menjadi Perdana Menteri yang kemudian membentuk zaken cabinet RIS. Hasil-hasil persetujuan yang tercapai dalam
perundingan antara delegasi Indonesia dan Belanda di Den Haag, walaupun tidak
memuaskan sepenuhnya, dan masih banyak mengandung kekecewaan terutama mengenai
soal Irian dan ekonomi/keuangan tak dapat dikatakan memenuhi syarat yang
penting untuk meneruskan perjuangan rakyat mencapai cita-citanya, dengan adanya
pengakuan kedaulatan de facto dan de jure bukan saja oleh negeri Belanda,
melainkan sekarang nyatanya juga oleh beberapa negara besar dan kecil. Persetujuan KMB menimbulkan pro dan kontra,
hal ini sangat lumrah karena satu persetujuan mesti ada segi-segi kompromi.
Presiden Sukarno memberi persetujuan tetapi menyesalkan mengapa Irian Barat
dibiarkan belum masuk, dengan begitu wilayah Negara Proklamasi masih belum
lengkap. Walaupun menimbulkan banyak
ketidakpuasan, KMB menurut pemerintah merupakan hasil perjuangan diplomasi
maksimal yang dapat dicapai pada waktu itu. Oleh karena itu agar hasil KMB bisa
dilaksanakan maka memerlukan persetujuan dari wakil-wakil rakyat yang duduk
dalam Komite Nasional Indonesia Pusat.
Sekembalinya
ke tanah air, Perdana Mentri Hatta memberikan laporan kepada kabinet hasil
perundingan Konferensi Meja Bundar dalam sidang kabinet tanggal 16 November
1949. Dengan suara bulat, kabinet menerima hasil perundingan dan menyarankan
agar secepatnya dimintakan pengesahan pleno KNIP. Tanggal 7-15 Desember, KNIP
mengadakan sidang pleno untuk mendengarkan tanggapan para anggotanya terhadap
keterangan pemerintah tentang hasil KMB yang dimintakan pengesahan. Akhirnya,
hasil-hasil KMB diterima dengan suara 226 berbanding 62 dan 31 blangko.
Golongan yang tidak setuju adalah golongan komunis dan partai Murba. Golongan
Partai Sosialis Indonesia memberikan suara balngko. Di Nederland, piagam persetujuan
KMB disahkan pada tanggal 14 Desember dengan suara 71 berbanding 29 di Dewan
Perwakilan Rakyat (kamar kedua) dan 34 berbanding 15 di Dewan Senat (kamar
pertama). Terkait pengesahan piagam persetujuan KMB oleh sidang KNIP di atas,
tanggal 16 Desember dilangsungkan pemilihan presiden untuk Republik Indonesia
Serikat di Gedung Kepatihan Yogyakarta oleh wakil-wakil 16 negara bagian. Selanjutnya KNIP mengadakan sidang untuk memilih presiden dan wakil presiden
RIS. Terpilihlah Ir. Sukarno sebagai Presiden RIS dengan Wakil Presiden Drs.
Moh. Hatta.
Presiden
Sukarno yang pada tanggal 17 Desember 1949 dilantik sebagai presiden RI yang
pertama, pada tanggal 28 Desember 1949 pindah dari Yogyakarta ke
Jakarta, diikuti oleh
pemerintah seluruhnya. Pada
tanggal 19 Desember 1949, Kabinet RIS
yang pertama dibentuk Mohamad
Yamin sebagai Perdana Menteri merangkap
Menteri Luar Negeri Pada tanggal 23 Desember 1949 delegasi Indonesia dipimpin
oleh Perdana Menteri Moh. Hatta berangkat ke Belanda untuk menerima pengakuan
kedaulatan dari Ratu Belanda. Di waktu yang sama, HVS. Loving menghadap
Presiden Soekarno di Jogjakarta untuk mohon diri sebagai Wakil Tinggi Mahkota
Belanda terakhir.
Pada
tanggal 27 Desember 1949 di Jogjakarta Mr. Assaat disumpah sebagai pemangku
jabatan sementara jabatan Presiden Republik Indonesia. Sejak saat itu segala perlengkapan dan aparatur negara RIS
dipindahkan dari Yogyakarta ke Jakarta. Pada 27 Desember 1949 pemerintah
Belanda secara resmi menyerahkan kedaulatan atas Indonesia tidak termasuk Irian
Barat kepada pemerintah RIS dan membebaskan seluruh tahanan politik yang berjumlah sekitar 12.000 orang.
Rangkuman
·
Perjuangan diplomasi
bangsa Indonesia diawali dengan perundingan Linggar Jati yang membuat wilayah
Indonesia menyempit hanya terdiri dari Sumatra, Jawa, dan Madura
·
Perundingan Renville
semakin mempersempit wilayah Indonesia menjadi Jawa Tengah, Yogyakarta, dan
Sumatra
·
Perundingan Roem Royen
hasilnya Pemerintah RI kembali ke Yogyakarta, dan akan diadakan Konferensi Meja
Bundar antara Indonesia dengan Belanda
·
Konferensi Meja Bundar
(KMB) merupakan solusi yang ditawarkan oleh UNCI untuk mengakhiri konflik
Indonesia-Belanda. Melalui KMB inilah tercapai pengakuan kedaulatan Indonesia
oleh belanda pada 27 Desember 1949.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar